Zawawi Imron, ulama
dan juga penulis sajak Islam asal Madura, menilai tidaklah lengkap bila
membahas KH Bahaudin Mudhary tanpa menyinggung tentang penemuan-penemuan dalam
bidang Metafisika. Menurutnya Kiai Baha menjalani kehidupan di zaman modern dan
mampu menempatkan dirinya dalam berbagai kegiatan termasuk pendidikan dan
organisasi yang dimasuki beliau. Dalam kehidupan medernitas tersebut tentu ada
kecenderungan cara berpikit rasional namun beliau mampu beradaptasi dengan hal
tersebut. Tetatpi pada sisi yang lain, Kiai Baha tidak menganggap rasio itu
menjadi segala-galanya.
Dari kehidupan yang
menjaga keseimbangan antara rasio dan rasa atau intuisi, kemudian Kiai Baha
dapat mengajarkan Islam yang bisa diterima dengan totalitas akal dan perasaan
santri-santrinya. Islam yang dihidupkan oleh Kiai Baha tidak terjebak oleh
pemahaman formalistic yang hanya memetingkan kulit dan lahir saja.
Zawawi Imron
menambahkan, Kiai Baha menekankanpentingnya manusia untuk berpikir, karena
kelebihan manusia dan makhluk yang lain ialah kemampuannya untuk berpikir (akal),
mengkaji dan menalar segala sesuatu yang ada didunia ini, termasuk berpikir
tentang dirinya sendiri. Namun untuk menjadi bagian dari etos pikir (selalu
berpikir), Kiai mengingatkan untuk berpikir itu harus disertai kehati-hatian. Sebab
bila tidak hato-hati, pikiran hanya menuju pada kesesatan.
Menurut Kiai Baha,
manusia jika hanya berpikir dengan didasarkan kepada kecakapan lahiriah saja
tanpa dukungan “otak” batin dengan transendensinya hasilnya mungkin bisa “salah”.
Akal yang tanpa transendensi, akan mengingkari hal-hal yang tak dapat
ditimbang, dan tidak dapat diukur oleh panca indra, meskipun pada sisi yang
sama ada bukti-bukti “nyata” yang tidak dapat diukur oleh panca indra lahir. Kiai
Baha membuktikan kalau ada faktor yang lebih tinggi dari akal pikiran, yaitu
Iman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar